This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Wednesday, February 6, 2019

Keperawanan Adik Kelasku



ZOYAQQ - Nama saya James. Saya seorang mahasiswa di suatu universitas swasta yang cukup terkenal di Bandung. Suatu hari menjelang ujian akhir semester, saya diajak oleh adik kelasku untuk belajar bersama. Aku menerima saja, karena dari dulu semenjak ia masuk ke jurusanku, aku memang sudah ingin jadi pacarnya.


Perawakannya cukup cantik, dengan tubuh yang ramping terawat, dan tentunya kulit yang putih karena ia keturunan Cina. Laura namanya. Begitu Laura mengajakku, tentu saja kujawab, “Mau..” “Jam berapa?” tanyaku. “Jam 3 sore, di rumahku, jangan terlambat soalnya nanti nggak selesai belajarnya”, jawabnya. Wah, kesempatan nih, pikirku. Setahuku, ia tinggal berdua saja dengan pembantunya karena ayah dan ibunya yang sibuk mencari nafkah di luar pulau Jawa.

Pulang kuliah, aku langsung bergegas pulang, karena kulihat sudah jam 14:30 WIB. Dengan cepat kumasukkan buku yang sekiranya akan dipakai ke dalam tas, karena takut terlambat. Sesampainya di rumah Laura, aku langsung memencet bel yang ada di gerbang depan rumahnya, rumahnya tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman kelihatannya. Sempat aku bertanya, kok rumahnya sepi banget. Kalau begitu berarti bonyoknya lagi pada pergi, jawabku dalam hati.

Tak lama setelah itu, Laura keluar membukakan pintu. Aku cukup kaget dengan penampilannya yang menarik, kali ini dia memakai kaos yang cukup ketat dan celana pendek ketat. Dia tersenyum lebar padaku, sambil mempersilakan aku masuk. Ketika masuk, aku merasakan rumahnya benar-benar sepi. “Langsung saja kita ke ruang tengah, yuk!” ajaknya.

Sesampainya di ruang tengah, aku langsung duduk di karpet karena tidak ada sofa. Ruang tengahnya didesain ala Jepang dengan meja Jepang yang pendek yang disertai rak majalah di bawahnya.

“Tunggu yah, aku mau mandi dulu”, katanya, “Habis keringatan abis senam nih!” Ternyata aku baru tahu kalau badannya bagus karena ia sering senam. “Kamu mulai aja dulu, nanti terangin ke aku yah”, katanya. “Kalo mau minum, ambil aja sendiri, soalnya pembantuku sedang sakit, dia lagi tiduran di kamarnya.”

Cukup lama aku belajar sambil menunggunya dan akhirnya aku bosan dan melihat-lihat majalah yang ada di bawah meja di depanku. Kulihat semuanya majalah wanita, mulai dari kawanku, kosmo, dan majalah wanita berbahasa jepang. Tanpa sengaja, ketika kulihat-lihat kutemukan sebuah majalah yang berisikan foto cowok bugil dengan otot-otot yang bagus di tengah majalah bahasa jepang itu. Aku sempat kaget melihatnya. Bersamaan dengan itu, ia keluar dari kamar mandi yang letaknya di sudut kamar tengah di mana aku duduk. Dia keluar memakai kimono kain handuk putih. Karena keasyikan, aku tidak sadar kalau dia mendekatiku. Kupikir dia pasti masuk ke kamarnya untuk berpakaian terlebih dahulu. Aku sempat grogi, karena aku belum pernah didekati oleh wanita yang hanya menggunakan baju mandi, karena di rumahku tidak ada saudara perempuan, jadi aku merasa tidak biasa.

“Ih, kamu, disuruh belajar malah liat-liat yang aneh-aneh.”
“Ini mah nggak aneh atuh”, kataku, “Aku juga punya, dan badanku juga kayak gini loh!” bisikku sambil menunjuk ke salah satu model cowok di majalah tersebut.
Aku memang sudah ikutan fitness sejak kelas 2 SMU, tak heran kalau aku lebih terkenal karena badanku yang bagus dibanding kegantenganku.
“Ah, masa?” katanya, “Gua nggak percaya ah.”
“Kamu kok tahan sih liat-liat kaya beginian?” tanyaku.
“Mana ada yang tahan sih?” balasnya.
“Tadi lagi nunggu kamu dateng ke sini saja aku sempet liat-liat dulu majalah itu lho! Jadi kamu tau khan, kenapa saya lama mandinya?” jawabnya sambil tersenyum mesum.
“Ihh, kamu ini!” balasku, “Ternyata suka juga ya sama yang gituan.”
“Iya dong, tapi, James katanya kalo maen langsung lebih enak ya dibanding masturbasi?” tanyanya. Saya sempat kaget ketika dia tanya hal yang begitu dalamnya.

“Kata kamu, kamu mirip ama yang di foto majalah itu, buktiin dong.”
Wah, kupikir ini cewek sudah horny banget. Aku sempat grogi untuk kedua kalinya, aku cuma bisa tersenyum.
“Iya sih katanya, tapi khan…”
Belum selesai aku bicara, dia langsung mencium bibirku.
“James, tau nggak kalo aku tuh sebetulnya udah seneng banget ama kamu semenjak aku ketemu kamu”, bisiknya sambil mencium bibirku. Aku kaget dan responku cuma bisa menerima saja, soalnya enak sih rasanya. Terus terang aku belum pernah dicium oleh cewek sampai seenak itu, dia benar-benar ahli.

Tanpa sadar, posisinya sudah berada di atas pangkuanku dengan paha yang menjepit perutku. Sambil menciuminya, kuelus-elus pahanya dari atas ke bawah, dan dia mendesah, “Akh… enak sekali!” Kuteruskan aksiku sampai ke kemaluannya, kuraba klitorisnya, dan kugosok-gosok. Desahannya semakin keras, dan tiba-tiba dia berhenti. “Wah, kok berhenti?” aku bertanya dalam hatiku. Langsung saja kubisikkan padanya bahwa aku juga betul-betul menginginkannya jadi pacarku sejak awal bertemu. “Lalu mengapa kamu nggak bilang ama aku?” tanyanya. “Karena aku takut kalau perasaan kita berbeda”, jawabku. Dia sempat terdiam sejenak.

Langsung timbul pikiran kotorku. “Udah tanggung nih”, pikirku. Batang kemaluanku betul-betul sudah bedenyut-denyut sejak tadi. Langsung saja kubuka baju mandinya, dan kukulum dan kuhisap buah dadanya. Dia menerima saja, malah merasa keenakan, hal ini terlihat dari ekspresi wajahnya. Putingnya menjadi mengeras dan tak lama kemudian, dia mendesah, “Aakh…” saat kupegang liang kewanitaannya yang mulai basah.

Aku semakin terangsang, batang kemaluanku benar-benar sakit rasanya. “Sayang, boleh kan kalau aku menjilati lubang keramatmu?” Dia mengangguk tanda setuju. Langsung saja kujilati liang kewanitaannya terutama daerah klitorisnya. Lumayan lama aku menjilatinya sampai aku merasa mulutku kering sekali. Akhirnya dia mendesah panjang, “Aakhhh… aku mau keluar James…” Terlihat cairan putih keluar dari liang senggamanya, baunya amat merangsang dan rasanya jauh lebih merangsang lagi.

“James, maen beneran yuk?” ajaknya.
“Wah, gila juga nih cewek”, pikirku.
Karena batang kemaluanku sudah sakitnya bukan main, langsung saja aku iyakan. Lalu kubuka semua baju dan celanaku. Kubaringkan dia di lantai berkarpet, dan kulipat kakinya, kunaikkan ke bahuku, dan mulai kumasukkan batang kemaluanku yang sudah tegak itu. Sempit sekali, hampir tidak bisa jalan. Kutekan lebih keras. Dia menjerit kesakitan, “Stop James, sakit tau.” Aku tidak menghiraukannya dan terus menekan batang kemaluanku sampai rasanya kepala batang kemaluanku menabrak sesuatu. Lalu aku mulai memaju-mundurkan badanku ke depan dan ke belakang.

Laura mulai merasa enak, dia sudah tidak menjerit lagi.
“Tuh enak kan”, kataku.
“Iyah”, jawabnya, “Bener! enak sekali.. lebih cepet dong James.”
Kupercepat permainanku, dan dia mendesah, “Ah.. ah.. ah..” karena merasa nikmat. Lama juga aku mengocoknya.
Tak lama kemudian, “James.. aku mau keluar lagi.”
“Sama”, balasku.
“Sedikit lagi, James… Aakkhhh… enak sekali James”, bersamaan dengan itu, aku pun keluar dan kukeluarkan seluruh spermaku di dalam liang kewanitaannya. Batang kemaluanku terasa hangat dan nikmat bercampur jadi satu. Kutarik batang kemaluanku keluar dan kulihat tetesan darah di karpet. Aku sempat kaget, berarti dia masih perawan. Aku sempat merasa senang banget waktu itu.

Laura bangun dan dia kaget saat melihat batang kemaluanku yang cukup besar, panjang 15,5 cm diameter 3,5 cm. Langsung dia kulum batang kemaluanku, yang sudah mau tidur lagi. Begitu dikulum, batang kemaluanku berdiri lagi karena enaknya. Dia mainkan lidahnya di kepala batang kemaluanku dan menjilat seluruh bagian batang kemaluanku sampai masuk semua, sampai akhirnya aku merasa ada dorongan yang kuat pada batang kemaluanku dan, “Creeet.. creeet.. creet..” spermaku keluar, dia hisap dan sebagian muncrat ke wajahnya. “Hmmm.. enak sekali James”, terlihat ekspresi wajahnya yang senang.

Kami pun kelelahan, dan berbaring bersama di ruang tengah sambil berpelukan dan mengucapkan kata-kata sayang. Tanpa terasa waktu sudah jam 6 sore. Kami mandi bersama, dan setelah itu kami makan malam bersama. Aku disuruhnya menginap, karena malammya kita mau mempraktekkan jurus yang lain katanya. Aku mengiyakan saja. Lalu kutelepon ke rumah dan bilang bahwa aku malam ini mau menginap di rumah teman, aku tidak bilang itu rumah Laura, karena sudah pasti tidak boleh.

Begitu selesai, kita sempat tertawa bersama karena kita tidak belajar malah bermain seks. Tapi tidak masalah sekalian buat penyegaran menuju ujian. Dia balas dengan senyum. Karena kehabisan pembicaraan, akhirnya kami mulai terangsang lagi untuk berciuman. Kali ini aksinya lebih gila. Sambil berciuman kami saling membuka baju. Sampai tidak ada satu benang pun menempel di badan kita. Lalu di bicara, “James, kita ke kamarku yuk, biar lebih asyik.” Kugendong dia ke dalam kamarnya, dan kita lanjutkan lagi dengan berciuman. Tak lama kemudian kupegang liang kewanitaannya, sudah basah ternyata. Langsung saja kubalikkan badannya dan kumasukkan batang kemaluanku dari belakang. Kali tidak sulit. Dia mendesah enak ketika kumainkan batang kemaluanku di lubang senggamanya. Kumainkan terus sampai aku dan dia mau keluar.

“Akkhhh…” kami berdua sama-sama keluar, kukeluarkan spermaku di luar, karena takut dia hamil. Tenyata Laura belum puas, dia membaringkan tubuhku di kasurnya. Dia langsung berdiri di atas tubuhku dan mulai memasukkan batang kemaluanku ke dalam liang senggamanya. “Ahhhh.. ” desahnya, “Gini lebih enak James..”

Aku benar-benar lemas tapi karena permainannya yang begitu hebat, aku sampai lupa. Dia teruskan sampai spermaku keluar, cuma sedikit kali ini, tidak seperti sebelumnya. “James dikit lagi juga aku keluar”, bisiknya tertahan sambil menaik-turunkan tubuhnya di atas badanku. Akhirnya dia keluar juga. Batang kemaluanku terasa pegal sekali, badanku benar-benar lemas. Dia juga terlihat lemas sekali. Kami tertidur lelap sampai pagi di kasurnya sambil berpelukan dengan tidak berpakaian karena pakaian kami tertinggal di ruang tengah dan malas mengambilnya karena sudah capek. 

Besok paginya, kami bangun bersama, mandi bersama, sarapan dan pergi ke kampus sama-sama. Semenjak itu kamipun sering belajar bersama, walaupun ujung-ujungnya berakhir di kasur airnya yang empuk. Tapi aku jarang menginap, karena takut orang tuaku curiga, ini cuma rahasia kita berdua.

























Loginsite : kartuzoya.com

BBM : D8B82A86 / 2BE5BC31
Line : zoya_qq
WA : +85515370075














Cara Membekukan Kenangan



ZOYAQQ - Cara ini kuperoleh dari Anne. Sebulan lalu, untuk keperluan penelitian, aku pergi ke Amsterdam.


"O ya, mungkin kamu perlu tahu, aku sekarang makin cemas kalau lihat es batu begini lho," kata Anne, dalam bahasa Inggris tentu saja, sambil mengaduk kubik-kubik es kecil pada segelas cokelat yang dia pesan di kafe stasiun Amsterdam Centraal.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Kucecap kopi hitam yang tidak enak. Rasanya seperti bubuk bakaran kertas yang disiram air panas. Aku sedang berusaha menetralkan gejala perbedaan waktu. Badanku rasanya ngantuk sekali, meski ini siang musim gugur yang tampaknya cerah bersemangat.

Terlihat dari kaca orang ramai menunggu antrean kapal feri. Mau menyeberang ke pelabuhan sana. Kata Anne, mereka akan pergi ke IJ-Hallen. Sebelum berangkat, sudah kususun jadwal dua jam tiap hari Minggu buat ketemu Anne. Di hari lain, persoalan migrasi makanan, migrasi manusia, konflik dan peleburan identitas, atau apalah yang sejenis itu, demikian mengisap waktuku seperti lintah raksasa yang lapar.

"Sejak kamu melihat burung kingfisher membeku di kanal itu?" tanyaku menegaskan ingatan.

"Kalau itu masa kecil. Ini beda. Eh, terima kasih ya, kamu masih mengingat ceritaku."

"Jangan khawatir. Meski sebenarnya aku ini pengingat yang buruk. Hanya saja, kalau ingatan itu berkesan, rasanya seperti gambar prangko yang ditempelkan lekat-lekat ke otak. Kamu kecil bermain ice skating, lalu melihat burung biru pemburu udang atau ikan itu membeku di bawah kakimu, di dalam danau es. Burung yang sedang berusaha menangkap ikan. Ikan kecil yang sama-sama membeku. Seperti lukisan tentang berburu. Tapi, kamu merasa kasihan kemudian ketakutan, begitu kan?"

Anne malu-malu, "Bahkan sampai umur dua lima begini, setiap kali tidur dan mimpi, di dalam mimpiku ada saja burung dan ikan."

Di sisi dalam, dari kaca kafe terlihat toko Albert Heijn dengan etalase dan orang yang sibuk membeli. Di depannya, jalur keluar masuk. Orang-orang lalu-lalang membawa sisa mimpi malam mereka sendiri. Mungkin ada yang samar. Ada yang masih begitu jelas. Meski rombongan itu membawa koper, beramai-ramai dari India atau China ke Belanda, mungkin tetap saja sisa mimpi itu terbawa. Mimpinya bisa jadi dalam bahasa asalnya, tentang orang-orang asalnya, tentang makanan, burung, dan ikan-ikan di negeri asalnya. 

"Omong-omong, kamu pernah memimpikanku?"

"Pernah dong," jawab Anne cepat.

"Dengan ikan dan burung-burung?"

"Ha ha...ya, dengan ikan dan burung-burung," Anne tertawa, "Burung-burung yang besar dan menyenangkan."

Aku ikut tertawa. Pengunjung lain melihat sebentar, kemudian tidak peduli.

"Lalu," tanyaku, "Apa yang membuatmu cemas kalau bukan kingfisher?"

Dia terdiam. Menunduk memainkan gelas berisi coklat dengan kubik-kubik es batu seukuran dadu.

Rambutnya yang pirang terurai melampaui bahu. Dia memakai sweater abu-abu. Aku baru menyadari bahwa wajahnya terlihat cepat sekali menua. Cahaya matanya agak meredup. Terakhir kali bertemu setahun tahun lalu. Ketika itu, dia datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian tentang sosiologi jalan raya selama satu tahun. Karena fokus penelitiannya di Jogja, maka sebagian besar waktunya juga dihabiskan di sana. Dia menghubungiku setelah membaca artikelku di jurnal mengenai migrasi pecel lele dan sate madura serta psikologi pembeli dan penjualnya.

"Kupikir kamu juga perlu meneliti soal sanitasi dan regulasi kaki lima itu," katanya, dalam bahasa Inggris, selama kami diskusi di kantin kampus.

"Mungkin di kesempatan lain. Waktu itu yang menarik bagiku, ya soal identitas dan kuliner itu. Mereka di Jogja, tapi yang dijual, atau dibeli makanan daerah asalnya. Dan, itu banyak. Juga bukan hanya di Jogja kukira. Jakarta, Bandung, Surabaya. Jadi aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya. Apakah ketika seseorang bepergian, lidahnya tetap terikat tanah kelahiran? Tapi, kalau soal hati dan jatuh cinta kok malah sebaliknya ya?"

Dia tertawa. Ternyata paham juga maksudnya. Aku ikut tertawa. Pengunjung kantin kampus memperhatikan, kemudian saling berbisik. 

Sejak saat itu, sekitar empat bulan, aku berubah jadi tersangka. Harus siap ketika dia mencecar. Meski bukan kesalahanku, tapi seolah-olah aku ini adalah wakil dari kesalahan-kesalahan itu. Ketika melihat orang buang sampah dari kaca mobil ke jalan, dia bertanya padaku, apa tidak ada pelajaran kalau jalan raya itu bukan tempat sampah. Juga waktu lihat sampah di pinggir sungai. Kalau naik kereta dan orang tidak antri menunggu yang turun lebih dahulu, dia juga bertanya dengan menyudutkan bangsaku.

"Padahal, kalau sudah naik, ya santai sekali. Tidak ada kesibukan berarti atau sekadar baca buku. Kalau mau naik kok berebutan begitu. Di jalan juga, tergesa-gesa, bahkan lampu belum hijau udah jalan. Trotoar buat jalan kaki diserobot segala. Awalnya kupikir sibuk sekali ini orang-orang, eh, tahunya sudah sampai tempat ya santai main media sosial," katanya semakin panjang.

Di hari-hari pertama, aku maklum karena dia sedang meneliti soal jalan. Termasuk maklum saat dia merasa aneh pada polisi. Kalau ada rombongan pawai tidak pakai helm, motor knalpot bodong bising, kok tidak berani menangkap mereka. Lama-lama, aku capek juga meladeni tudingan macam demikian. Kubawa dia ke desa di pinggiran Godean, Sleman dengan padi-padi dan ikan-ikan yang berenang-renang bebas di antara pepadian. Udara sejuk. Orang-orang yang ramah dan panjang umur.

"Wah, ini seperti surga ya," katanya.

"Ya, tidak jauh dari jalan neraka kan?" kataku ketawa.

Pada saat itu, di dangau melihat ikan-ikan berenang di antara genangan air sawah berkonsep minapadi, dia cerita soal masa kecilnya dan ikan kingfisheryang membeku. Dia sedang bermain bersama paman dan bibinya yang tinggal di Amsterdam. Sementara, dia dan keluarga tinggal di Leiden. Dengan kereta intercity, mereka menuju tempat paman. Ketika asik meluncur di atas kanal yang membeku karena musim dingin melampaui biasanya, ia melihat kingfishermembeku dalam es, di bawah sana, di bawah kakinya.

"Kamu ingat Mark?" tanyanya balik setelah lamunan agak panjang. Kopi rasa serbuk kertas sudah dingin.

Aku mengangguk, bosan --membosankan kalau soal Mark tukang neliti bakteri keju itu.

Dia mengalihkan pandangan ke arah pelabuhan yang kini tak berfungsi lagi.

"Dia juga membeku," katanya pelan.

Mengejutkan, kopi rasa serbuk bakaran kertas jadi menggairahkan. Aku mencecapnya. Enak sekali. Jiwaku bergembira. Melompat-lompat seperti anak beruang ketemu ibu beruang yang membawa makanan beruang. Aku menafsirkan maksud beku itu sebagai berhentinya hubungan mereka berdua, dan itu artinya ada kesempatan bagiku. Aku ingin bertanya, tapi belum ketemu kalimat yang tepat.

Tapi, kuberanikan juga, "Mmm, itu artinya?"

Anne menoleh sebentar, kemudian berpaling, "Artinya, dia dipukuli pakai palu es, setelah gas dan larutan pencair tidak bisa bekerja cepat."

Aku belum bisa mengerti kalau perlambangnya yang sejauh itu, batinku.

"Dia seperti kingfisher. Sial betul mimpi itu. Masa kecil itu. Lebih sial aku," Anne ingin meremas gelas cokelat dengan es kubik. "Bagaimana bisa otakku yang logis percaya pada hubungan mimpi ikan dan burung dengan lelaki yang kucintai. Dia memakai jaket musim dingin. Berpose seperti pemburu hewan air. Yang ia buru botol wiski. Mengambang persis seperti ikan kecil di hadapan kingfisher. Jarak ujung tangan kanannya pada botol, hampir sama dengan jarak paruh burung itu dengan mangsanya yang sama-sama membeku. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya di jembatan kanal itu. Padahal, muncul peringatan badai salju. Tolol sekali dia."

"Aku minta maaf," kataku tulus. "Aku turut berduka cita. Aku baru mengetahuinya."

"Tak masalah. Lagi pula, memang aku baru cerita kan? Aku juga bukan tipe orang yang mudah cerita apa saja di akun media sosial."

"Ya, aku tahu, aku menghargai setiap privasi."

"O ya, aneh juga kalau sekarang aku punya pemikiran sedewasa ini. Pas kejadian, rasanya gejolak remajaku dikuras habis. Aku nangis seminggu lho. Setelah itu, waktu bangun dari mimpi, aku tukang mimpi ya, menyedihkan. Di mimpi itu, aku menangkap ikan-ikan lalu kubagikan di mana, kamu tahu? Di kaki lima pecel lele di negaramu! Aneh kan? Burung-burung itu kulepas di jalanan macet di sana. Mimpi yang lucu ya. Sampai-sampai aku berpikir, yang hidup barangkali lebih penting untuk dipikirkan daripada yang mati. Terutama yang hidup dalam penindasan, kemiskinan, atau ketidakadilan."

"Wah, kamu bijaksana sekali. Bahkan dalam mimpi," aku tetap tidak ingin kehilangan kesempatan. "Tapi, Mark kan tidak percaya Tuhan, surga, dan neraka. Dia bilang itu imajinasi kolektif, hasil revolusi kognitif sapiens. Kalau begitu, menurutmu, ada di mana entitasnya sekarang?"

"Dia membeku, di sini," kata Anne mengarahkan tangan kanan ke dadanya.

"Duh, hanya untuk Mark ya?"

"Aku paham maksudmu," kata Anne simpatik. "Tapi, aku sudah pernah bilang. Perasaanku ke kamu seperti ke negaramu, aku menyukai, tapi bukan mencintai. Tidak apa-apa kan?"





















Loginsite : kartuzoya.com

BBM : D8B82A86 / 2BE5BC31
Line : zoya_qq
WA : +85515370075